Kamis, 18 April 2013

TUGAS 2 - HUKUM PERBURUHAN#

Pengertian Alih Teknologi
Tentang istilah “alih” atau “pengalihan” merupakan terjemahan dari kata transfer. Sedang kata transfer berasal dari bahasa latin transfere yang berarti jarak lintas (trans, accross) dan ferre yang berarti memuat (besar). Kata alih atau pengalihan banyak dipakai para ahli dalam berbagai tulisan, walaupun adapula yang menggunakan istilah lain seperti “pemindahan” yang diartikan sebagai pemindahan sesuatu dari satu tangan ke tangan yang lain, sama halnya dengan pengoperan atau penyerahan. Pendapat inilah yang menekankan makna harfiahnya, pendapat lain dengan istilah “pelimpahan” sedangkan para ahli menghendaki makna esensinya dengan memperhatikan insir adaptasi, asimilasi, desiminasi atau difusikannya obyek yang ditransfer (teknologi).
Apa yang dikemukakan Marzuki pada definisi teknologi di atas memang tepat karena technical know-how merupakan sesuatu yang menentukan bagi terciptanya peralatan guna memproduksi barang dan jasa. Dapat dikemukakan bahwa technical know how itulah yang memungkinkan terciptanya alat-alat itu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan berdasarkan apa yang dikemukakan Marzuki tersebut bahwa alih teknologi sebenarnya alih mengenai technical know-how, yaitu rahasia dibalik peralatan untuk memproduksi barang dan jasa.
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2005 definisi alih teknologi dikemukakan sebagai berikut:
Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau sebaliknya.”
Pengaturan Alih Teknologi secara Internasional dan Nasional
a.      Pengaturan pada TRIPs
Merujuk Pasal 7 dan Pasal 8, dapat ditafsirkan bahwa persoalan alih teknologi menjadi perhatian utama dalam TRIPs. Ketentuan pasal 7 secara tegas mengatakan pentingnya alih teknologi bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi dari negara peserta TRIPs. Pasal 8 lalu menekankan pada perlunya perlindungan pada kesejahteraan masyarakat dan gizi, serta untuk menggalakkan sektor-sektor yang vital untuk kepentingan publik, yang dilaksanakan dalam rangka pengembangan teknologi dan sosio ekonomis negara peserta TRIPs.
b.      Pengaturan pada Ketentuan Hukum di Indonesia
Ketentuan mengenai alih teknologi lebih jauh terdapat dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Undang-undang yang mulai berlaku sejak 29 juli 2002 tersebut menyatakan bahwa alih teknologi merupakan pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badán, atau orang, baik yang berada di lingkungan dalam negeri, maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dan sebaliknya.
Terkait dengan alih teknologi dalam lingkup HKI, Pasal 17 menyebutkan bahwa kerja sama internasional dapat diusahakan oleh semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan alih teknologi dari negara-negara lain serta meningkatkan partisipasi dalam kehidupan masyarakat ilmiah internasional. Ketentuan ini lantas dipertegas melalui pasal 23 yang menyatakan bahwa Pemerintah menjamin perlindungan bagi HKI yang dimiliki oleh perseorangan atau lembaga sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tidak secara eksplisit menyatakan perlunya alih teknologi. Meskipun begitu, keberadaan ketentuan mengenai lisensi paten dalam undang-undang ini secara tidak langsung telah mengamanatkan upaya alih teknologi melalui pemberian lisensi paten.
Ketentuan dan Syarat pada Alih Teknologi
Penyerahan suatu atau beberapa hak teknologi (lisensi) dari lisencor kepada lisencee perlu ditundukkan pada sejumlah ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak[8] karena dalam ketentuan dan syarat tersebut masing-masing menentukan “bussiness expectation” dari komitmen hukum yang diperjanjikan. Melalui ketentuan dan syarat tersebut hak (keuntungan yang diharapkan) dan kewajiban (pengorbanan) masing-masing pihak ditetapkan seimbang dan adil.
Diantara berbagai ketentuan dan syarat tersebut yang perlu mendapat perhatian utama diantaranya:
a.       Eksklusifitas atau non-eksklusifitas
Pemberian dan penerimaan lisensi dapat bersifat eksklusif dan non-eksklusif, dapat ditinjau dari segi lisencor atau lisencee dengan kepentingan yang berbeda-beda. Untuk kepentingan pemasaran yang luas, Licensor biasanya menghendaki pemberian lisensi yang non-ekslusif, sehingga lisensi itu dapat digunakan oleh lebih banyak lisencee.
b.      Pembatasan jenis kegiatan
Biasanya lisensi tidak diberikan tanpa batas, dan pembatasan tersebut dapat ditentukan dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut diantaranya:
1)      Lisencee dapat menerima hak know how untuk memproduksi serta menggunakan merek dagang untuk menjual produk yang bersangkutan.
2)      Lisencee dapat menerima hak know how untuk memproduksi, tetapi hak menggunakan merek dagang diberikan kepada Licensee lain guna memasarkannya.
3)      Lisencee hanya mendapatkan hak untuk menggunakan merek perusahaan dalam menjalankan usahanya sendiri.
Lisencee tergantung dari keadaan, bahkan dapat menerima hak know how, hak untuk mengembangkan, hak untuk memasarkan, termasuk mengekspor ke wilayah hukum lain.
IMPLIKASI KONTRAK LISENSI PATEN DI INDONESIA
1.         Kontrak Lisensi Paten sebagai Penyebab Alih Teknologi
Dalam Undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten diberi pengaturan mengenai lisensi pada pasal 69-71. Lisensi paten ini dilaksanakan dengan sistem perjanjian dimana yang sering digunakan adalah kontrak dengan sistem kontrak-baku[1]. Acuan peraturan yang digunakan dalam kontrak baku ini adalah pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian, pasal 1338 KUH Perdata mengenai asas kebebasan berkontrak, pasal 1234 KUH Perdata mengenai prestasi, dan pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum pada perjanjian.
 Adanya kontrak inilah yang menyebabkan alih teknologi di Indonesia, sehingga dengan kata lain bahwa alih teknologi adalah akibat dari adanya regulasi dan kebijakan pemerintah yang membolehkan lisensi paten dengan sistem kontrak.
2.         Peran Pemerintah pada Kontrak Lisensi Paten di Indonesia
Peran pemerintah dalam hal ini lembaga terkait yaitu Kementrian Hukum dan HAM melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional adalah merumuskan peraturan pemerintah sebagai acuan pelaksanaan untuk Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
Peran pengawasan dan pelaksanaan dilakukan oleh unit dari Kementrian Hukum dan HAM yaitu Dirjen HKI lebih khusus lagi Direktorat Paten. Setiap kontrak lisensi paten harus didaftarkan kepada Direktorat Paten. Namun pada praktek pelaksanaannya belum maksimal. Masih sangat sedikit kontrak lisensi paten yang didaftarkan. Sehingga proses pemantauan terhadap kontrak itu sendiri masih sangat sulit.   
Secara umum dalam proses alih teknologi ada 5 pihak yang terkait, yaitu:
a.    Pemilik teknologi sebagai pihak yang memberi teknologi
b.    Negara pemilik teknologi
c.    Penerima teknologi
d.   Negara penerima teknologi
e.    Lembaga-lembaga internasional / PBB
Mengingat teknologi sudah menjadi komoditi yang dibutuhkan oleh semua negara maka peranan organisasi dan masyarakat internasional menjadi lebih menonjol. Untuk itu maka pelaksanaan diawali dengan mengungkap posisi dari masyarakat internasional. Kemudian disusul dengan posisi pemilik teknologi  dan penerima teknologi dan penerima teknologi dan akhirnya dibahas posisi pemilik dan penerima teknologi, masing-masing dikupas segi-segi peluang yang dapat diperoleh dan resiko yang harus dihadapi. Pada suatu kontrak timbul kebutuhan hubungan kontraktual, yaitu adanya konsensus selanjutnya dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis.
Untuk itu pemerintah ikut campur dalam perkembangan hukum perjanjian diantaranya melalui perundang-undangan, kebijaksanaan, kerjasama bilateral atau multilateral dengan negara lain dan sebagainya. Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergabung dengan Perusahaan Nasional dalam bentuk usaha Joint Venture. Kontrak lisensi paten yang diadakan antara pemilik teknologi dengan penerima teknologi diawali dengan penawaran dari pemilik teknologi kepada penerima teknologi.
Selanjutnya apabila lisensee setuju dengan teknologi yang ditawarkan maka dibuat kontrak lisensi paten disertai syarat-syarat yang dikemukakan oleh lisensor. Lisensee akan menandatangani kontrak tersebut apabila lisensee sebagai penerima teknologi setuju dengan syarat-syarat teknologi yang dikemukakan. Pada kontrak lisensi paten, penerima teknologi dituntut agar dalam pengoperasian teknologi tersebut melaksanakan substansi perjanjian dengan itikad baik dan memperhatikan asas kepatutan. Kontrak teknologi tersebut dibuat dalam jangka waktu yang tertentu dengan membayar sejumlah uang sebagai kompensasi atas lisensi paten yang digunakan.
Ditinjau dari segi pembuatan kontrak antara lisensor dengan lisensee, pihak lisensee lebih mengutamakan pada kebutuhan teknologi pada saat kontrak lisensi paten dibuat, sedang pelaksanaan kontraknya sangat tergantung pada lisensor sebagai pemilik teknologi. Dengan demikian pemilik teknologi yang mempunyai hak monopoli atas patennya, karena tidak ada standar baku tentang susunan kontrak lisensi yang diadakan semuanya tergantung pada klausula dalam kontrak serta sesuai dengan kebutuhan teknologi. Sistem perjanjian lisensi ini tumbuh dan berkembang dalam praktik sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sesuai dengan sistem terbuka perjanjian lisensi tidak dilarang. Karena itu, diperbolehkan adanya perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak meskipun tidak diatur dalam KUH Perdata.
Menurut pendapat Etty Susilowati, penerima teknologi memberikan batasan-batasan tertentu atau restriction yang tercantum pada pasal 1320 ayat 2 dan pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata serta pembatasan pasal 78 UU Paten, yang bertujuan untuk mengurangi adanya pembatasan-pembatasan yang dikehendaki oleh pemilik teknologi. Akan tetapi pada kontrak yang diadakan para pemilik teknologi juga memberikan pembatasan tertentu dalam rangka melindungi teknologi yang dilisensikan, sehingga teknologi tersebut tetap aman selama digunakan oleh penerima teknologi. Adanya pembatasan yang ditanyakan oleh pemilik maupun penerima teknologi, secara riil terbukti bahwa masing-masing pihak ingin melindungi substansi kontrak yang diadakan untuk mengurangi resiko seminimal mungkin.

sumber:
http://kurniowen.blogspot.com/2012/06/kontrak-lisensi-alih-teknologi-di.html 
ita Gambiro, Perjanjian Alih Teknologi Jenis dan Karakteristiknya, Workshop, Semarang, Oktober 1996 halaman 6
Sumantoro, Masalah Pengaturan Alih Teknologi, (Bandung: Alumni, 1993) halaman 59
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar